Melestarikan Bahasa Daerah Sebagai Kekayaan Budaya Nasional Indonesia

  • Penulis: Baiq Yunia Eka Diana Putri
  • Dibaca: 360 Pengunjung

Melestarikan Bahasa Daerah Sebagai Kekayaan Budaya Nasional Indonesia

Indonesia merupakan negara dengan kekayaan bahasa terbesar kedua di dunia setelah Papua Nugini. Namun, banyak dari bahasa daerah ini yang telah dan diprediksikan akan punah. Indonesia memiliki 718 bahasa, namun 25 dalam kondisi terancam punah, 6 dalam kondisi kritis, dan 6 telah punah. Bahkan dalam skala global, dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, 200 bahasa daerah di dunia sudah punah. Hal ini menunjukkan kondisi kritis warisan budaya berupa warisan linguistik.

Punahnya bahasa daerah ini utamanya disebabkan oleh penutur sejati yang tak lagi menggunakan dan mewariskan bahasanya ke generasi berikutnya. Menurut beberapa riset, penyebab punahnya bahasa-bahasa daerah ini adalah kurangnya dukungan dari pemerintah lokal terkait pelatihan guru bahasa lokal, kurangnya kerja sama yang intens antara pemangku kebijakan, fasilitas mengajar yang kurang mendukung seperti buku, persepsi masyarakat yang menganggap bahasa lokal kuno dan ketinggalan zaman dan lebih suka menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing (bahasa Inggris), urbanisasi yang membuat bahasa lokal bersaing, perubahan kurikulum, serta mobilitas sosial dan ekonomi (Gandhawangi, 2023; Andina, 2023; Rohana dkk., 2024).

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Pasal 32 Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional, perlindungan bahasa daerah adalah sebuah keharusan. Oleh karena itu, pemerintah telah melakukan banyak upaya untuk melestarikan bahasa daerah, salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan ‘Merdeka Belajar’ episode 17 yang bertujuan untuk merevitalisasi 38 bahasa daerah yang tersebar di 12 provinsi, yaitu Sumatra Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Kebijakan ini dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bekerja sama dengan 17.955 sekolah, 29.370 guru, 1.563.720 siswa, 1.175 pengawas, bahkan 1.491 komunitas pegiat bahasa di seluruh Indonesia. Dalam pelaksanaannya, pemerintah berdasarkan pada beberapa prinsip dasar, yakni dinamis, berorientasi pada pengembangan, bukan sekedar melindungi bahasa; adaptif dengan situasi lingkungan sekolah dan masyarakat tuturnya; regenerasi dengan fokus pada penutur muda di tingkat sekolah dasar dan menengah; serta merdeka berkreasi dalam penggunaan bahasa.

 

 

Dalam pelaksanaannya, pemerintah mengeluarkan tiga model revitalisasi bahasa yakni Model A, Model B, dan Model C. Model A dilaksanakan pada bahasa daerah yang kondisinya masih relatif aman, jumlah penutur masih banyak, serta masih digunakan sebagai bahasa utama dalam masyarakat. Model ini diterapkan pada bahasa Jawa, Sunda, dan Bali. Pendekatan yang dilakukan adalah pewarisan terstruktur melalui pembelajaran di sekolah dengan menggunakan prinsip integratif, kontekstual, dan adaptif, baik melalui muatan lokal maupun ekstrakurikuler. Model B dilakukan pada bahasa yang daya hidupnya tergolong rentan, jumlah penutur relatif banyak, namun bahasa tersebut bersaing dengan bahasa-bahasa lokal lain. Target kebijakan ini adalah bahasa daerah yang terdapat di provinsi Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan terstruktur melalui pembelajaran di sekolah jika wilayah tutur bahasa tersebut memadai. Selain di sekolah, pewarisan juga dapat dilakukan melalui pembelajaran berbasis komunitas. Sedangkan Model C diterapkan pada bahasa daerah yang kekuatan bahasanya mengalami kemunduran, terancam punah atau kritis, dan jumlah penutur sedikit dengan wilayah sebaran terbatas. Bahasa-Bahasa yang terdapat di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Papua merupakan sasaran kebijakan model ini. Pendekatan yang dilakukan adalah pewarisan melalui pembelajaran berbasis komunitas untuk wilayah tutur bahasa yang khas dan terbatas. Pembelajaran dilakukan dengan menunjuk dua atau lebih keluarga sebagai model tempat belajar, atau dilakukan di pusat kegiatan masyarakat seperti kantor desa, taman bacaan masyarakat, dan tempat ibadah. Dengan skema kebijakan tersebut, diharapkan para penutur muda akan menjadi penutur aktif bahasa daerah dan mempelajari bahasa daerah dengan penuh suka cita melalui media yang mereka sukai; menjaga kelangsungan hidup bahasa dan sastra daerah; menciptakan ruang kreativitas dan kemerdekaan bagi para penutur bahasa daerah untuk mempertahankan bahasanya; serta menemukan fungsi dan ranah baru dari sebuah bahasa dan sastra daerah.

Program revitalisasi ini sudah diterapkan oleh beberapa daerah dengan baik dan bahkan memunculkan ide-ide baru. Salah satu contoh adalah provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menetapkan hari Sabtu sebagai hari budaya di mana anak-anak sekolah dari SD hingga SMP mengenakan pakaian adat Lombok dan belajar bahasa Sasak sebagai bagian dari kurikulum wajib sekolah. Hal serupa juga dilaksanakan oleh pemerintah provinsi Bali yang menetapkan hari Kamis sebagai hari pemakaian busana adat Bali dan pemakaian bahasa Bali di ruang publik. Kedua provinsi ini merupakan provinsi yang kondisi masyarakatnya relatif homogen sehingga penggunaan bahasa asli daerah masing-masing tidak terlalu sulit. Program revitalisasi ini juga menstimulasi adanya inovasi seperti pembuatan kamus bahasa daerah, bulan bahasa daerah, penetapan hari berbahasa daerah, serta peluncuran aplikasi Abrakadabra. Aplikasi ini merupakan hasil karya anak bangsa yang diikutsertakan dalam Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) di bidang pengabdian masyarakat. Terdapat juga aplikasi ''Cakap Berbahasa Daerah'', di antaranya adalah kamus bahasa daerah SKIBDA (Senarai Kata dan Istilah Bahasa Daerah), KBD (Kuis Bahasa Daerah), serta warta bahasa daerah. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sendiri menggagas Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) yang terdiri dari berbagai eksibisi dan lomba dalam bidang membaca dan menulis aksara daerah, menulis cerita pendek (cerpen), membaca dan menulis puisi (sajak, gurit), mendongeng, pidato, tambang tradisi (pupuh, macapat), dan komedi tunggal (stand-up comedy). Terobosan-terobosan ini diharapkan mampu mempopulerkan bahasa daerah dengan cara kekinian.

Namun, berbeda halnya dengan provinsi Lampung yang kondisi masyarakatnya cukup beragam. Meski sekolah-sekolah sudah melaksanakan program bahasa dan aksara Lampung sebagai salah satu mata pelajaran wajib dan bahkan pendokumentasian bahasa Lampung sebagai program unggulan daerah, banyak tantangan yang dihadapi. Sejak menjadi salah satu pusat transmigrasi di Indonesia, provinsi Lampung penduduknya sangat heterogen dan didiami oleh banyak suku dari provinsi lain yang juga mempengaruhi keragaman bahasa daerah yang digunakan seperti bahasa Bali, bahasa Basemah, bahasa Bugis, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Lampung sendiri. Hal ini membuat implementasi revitalisasi bahasa daerah di Provinsi Lampung lebih menantang. Tantangan utama dalam revitalisasi bahasa daerah Lampung adalah permasalahan psikologis masyarakat yang malu menggunakan bahasa Lampung karena dianggap sebagai bahasa kampung. Selain itu, dalam interaksi sehari-hari, bahasa Lampung tergeser oleh bahasa daerah lain yang lebih dominan, seperti bahasa Jawa dan Sunda. Kurangnya dukungan pemerintah dalam mempromosikan bahasa daerah juga menjadi tantangan kedua. Salah satu contohnya adalah lemahnya dukungan dalam pemenuhan guru pengajar bahasa Lampung di sekolah. Tantangan lain adalah sinergisitas antarinstansi dalam menjalankan program-program revitalisasi bahasa daerah yang masih sangat lemah. Meskipun ada upaya untuk memperkenalkan mata pelajaran muatan lokal, program ini tidak mendapat dukungan yang memadai dari SDM, bahan ajar yang sesuai, kurikulum yang mendukung, dan sarana prasarana yang memadai. Hal serupa juga terjadi di Provinsi Jawa Barat. Pemerintah lokal mengemukakan tantangan terbesar adalah besarnya jumlah populasi, heterogenitas penduduk, dan minimnya jumlah guru bahasa daerah, terutama di tingkat sekolah dasar (SD).

Dalam menyikapi masalah-masalah tersebut, beberapa hal dapat dilakukan seperti memperkuat koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, mendokumentasikan bahasa daerah, menggunakan teknologi dalam promosi bahasa daerah, serta mendorong dan mendanai riset-riset bahasa daerah.

Koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah sangat penting dilakukan. Indonesia terdiri dari banyak pulau dan provinsi dengan adat kebudayaan yang memiliki ciri khasnya masing-masing sehingga masalah dan tantangan yang dihadapi juga berbeda. Contohnya adalah keadaan masyarakat yang heterogen dengan banyak bahasa daerah dan dialek bersaing dalam suatu wilayah provinsi atau kabupaten seperti di Provinsi Lampung dan Jawa Barat. Dalam menyikapi hal tersebut, pemerintah tidak bisa menggunakan kebijakan one size fits all atau kebijakan yang sama bagi seluruh wilayah. Meski telah ditetapkan tiga model revitalisasi (A, B, C) yang dicanangkan untuk tiga kondisi terapan, hal tersebut belum cukup mengakomodir permasalahan teknis yang muncul di lapangan seperti kondisi heterogen masyarakat dalam suatu wilayah bagian. Selain koordinasi pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, diperlukan juga kerja sama yang baik antara stakeholder terkait seperti sekolah, guru, siswa, pengawas pendidikan, dan komunitas pegiat bahasa demi suksesnya program revitalisasi bahasa daerah ini. Seperti halnya pembuatan dan implementasi program bahasa daerah dan budaya di sekolah, sekolah dapat berkoordinasi dengan Badan Bahasa provinsi masing-masing dalam pengadaan lomba-lomba berbahasa daerah, penyusunan bahan ajar tambahan, terjemahan buku cerita anak berbahasa daerah, dan lain-lain.

Pemerintah juga perlu menginisiasi program pendokumentasian bahasa daerah sebagai salah satu program unggulan. Dengan menyusutnya popularitas bahasa daerah di kalangan masyarakat di mana penggunaannya sudah jarang di ranah komunikasi sehari-hari, tidak menutup kemungkinan bahwa akan lebih banyak lagi bahasa daerah punah dalam waktu dekat. UNESCO (2018) menyatakan bahwa dalam kurun waktu dua minggu, satu bahasa di dunia punah. Di Indonesia sendiri, hal ini terjadi karena masyarakat (orang tua) yang sudah tidak lagi menggunakan bahasa daerah ketika berkomunikasi dengan anak-anak mereka dan lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini membuat para anak muda tidak mengenal kosakata bahasa daerah yang dapat digunakan dalam komunikasi sehari-hari dan menjadikan stigma bahasa daerah yang 'ketinggalan zaman' semakin kuat. Jika hal ini dibiarkan, penutur asli sebuah bahasa daerah akan hilang yang menyebabkan kepunahan bahasa tersebut. Maka, diperlukan adanya pendokumentasian bahasa daerah dalam bentuk kamus bahasa daerah, buku ajar, dan bentuk pengarsipan lain dalam rangka pencatatan dan penyimpanan. Hal ini akan membantu pemerintah dan masyarakat sendiri untuk mewariskan bahasa daerah ini secara komprehensif kepada generasi muda. Program pendokumentasian ini sudah dicanangkan oleh Provinsi Lampung sebagai program unggulan pemerintah daerah serta Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang sudah meluncurkan kamus bahasa daerah NTB-Indonesia dan Ensiklopedia Sastra Daerah NTB.

Hal lain yang dapat dilakukan adalah menggunakan teknologi dalam promosi bahasa daerah, terutama dalam menarik minat dan perhatian generasi muda. Generasi muda sekarang sangat akrab dengan teknologi berupa aplikasi online dan platform media sosial. Menggunakan teknologi dapat memberi mereka akses untuk belajar bahasa daerah dengan media yang biasa mereka gunakan dan cara yang menyenangkan. Banyak provinsi di Indonesia sudah mengeluarkan kamus bahasa daerah digital yang dapat diakses melalui smartphone seperti Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Tengah, Bali, dan provinsi lainnya. Pemerintah daerah Kalimantan Tengah pun melibatkan anak muda langsung sebagai duta bahasa daerah melalui program Rajawi, yakni pelihara bahasa bersama Jagau dan Rawi sebagai target bahasa yang direvitalisasi. Selain kamus digital, promosi bahasa daerah melalui media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter juga dapat dilakukan oleh pegiat literasi, komunitas bahasa, duta bahasa, maupun pemerintah daerah sendiri dengan menghadirkan konten-konten menarik tentang bahasa dan budaya daerah. Misalnya konten tentang 'Fakta Menarik tentang Bahasa Jawa' atau 'Masakan dan Minuman Khas Daerah'. Pembuatan aplikasi permainan tradisional juga perlu digagas pemerintah agar anak muda mengenal jenis-jenis permainan tradisional daerahnya dengan cara yang menyenangkan. Hal lain yang dapat dilakukan untuk menggaet perhatian anak muda adalah dengan mengadakan lomba-lomba seperti fashion show busana daerah, lomba memasak makanan dan minuman khas daerah, menyanyi bahasa daerah, atau bahkan lomba permainan tradisional.

Pemerintah juga perlu mendorong dan mendanai riset-riset yang berkaitan dengan bahasa daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa riset-riset mengenai bahasa daerah di Indonesia masih sangat minim. Pemerintah dapat meluncurkan lomba-lomba inovasi riset, hibah penelitian untuk dosen muda, mendorong instansi-instansi untuk menyelenggarakan seminar dan konferensi yang bertemakan bahasa daerah.

Bahasa menunjukkan jati diri sebuah bangsa. Diperlukan adanya sinergitas semua instansi terkait dan masyarakat untuk memelihara kelestarian bahasa daerah. Dengan kerja sama dan kesadaran bersama, program pemerintah dalam revitalisasi bahasa daerah dapat diwujudkan dengan baik.

 

Referensi

Andina, E. (2023).  Implementasi dan Tantangan Revitalisasi Bahasa Daerah di Provinsi Lampung. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, 14(1), 16-17.  https://doi.org/10.46807/aspirasi.v14i1.3859

Balai Bahasa Jawa Timur (2024). BPP Jawa Timur Gelar Lokakarya Hasil Inventarisasi Kosakata Bahasa Daerah. balaibahasajatim.kemdikbud.go.id. BBP Jawa Timur Gelar Lokakarya Hasil Inventarisasi Kosakata Bahasa Daerah – Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur (kemdikbud.go.id)

Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat (2021). Kantor Bahasa Provinsi NTB Luncurkan Kamus Digital Sasambo dan Kadaring SIBI. badanbahasa.kemdikbud.go.id.  Kantor Bahasa Provinsi NTB Luncurkan Kamus Digital Sasambo dan Kadaring SIBI | Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa - Kemendikbudristek (kemdikbud.go.id)

Biro Kerjasama dan Hubungan Masyarakat (2022). Mendikbudristek Luncurkan Merdeka Belajar 17: Revitalisasi Bahasa Daerah. badanbahasa.kemdikbud.go.id. Kemendikbudristek Luncurkan Merdeka Belajar 17: Revitalisasi Bahasa Daerah | Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa - Kemendikbudristek (kemdikbud.go.id)

Gandhawangi, S. (2023). 59 bahasa daerah akan direvitalisasi. Kompas.id. https://www. kompas.id/baca/humaniora/2023/02/13/59-bahasa-daerah-akan-direvitalisasi-di-2023

Hardiningtyas, P.R., (2022). Melakukan Upaya Perlindungan Bahasa Daerah Melalui Revitalisasi. balaibahasaprovinsibali.kemdikbud.go.id. Balai Bahasa Provinsi Bali Melakukan Upaya Pelindungan Bahasa Daerah Melalui Revitalisasi – Balai Bahasa Provinsi Bali (kemdikbud.go.id)

Rajani, F. (2022). Rajawi: Implementasi Peran Duta Bahasa dalam Perlindungan Bahasa dan Sastra Daerah di Kalimantan Tengah. balaibahasakalteng.kemdikbud.go.id. Rajawi: Implementasi Peran Duta Bahasa dalam Pelindungan Bahasa dan Sastra Daerah di Kalimantan Tengah – Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah (kemdikbud.go.id)

Rep Pun (2024). Revitalisasi, Upaya Memperlambat Kepunahan Bahasa Daerah. jabarprov.go.id. Revitalisasi, Upaya Memperlambat Kepunahan Bahasa Daerah (jabarprov.go.id)

Rohana dkk. (2024). Analisis Kebijakan Merdeka Belajar Episode ke-17: Revitalisasi Bahasa Daerah. Jurnal Ilmiah Profesi Pendidikan. 9(2), 1134-1143. DOI: https://doi.org/10.29303/jipp.v9i2.1882