Pola Komunikasi Publik di tengah Pandemi Covid-19

  • Dibaca: 16398 Pengunjung
  • |
  • 19 September 2020
  • |
  • Kontributor:

insert: Dr. I Nengah Laba, Peneliti di Pusat Kajian Publik

Pola Komunikasi Publik di tengah Pandemi Covid-19

Oleh

Dr. I Nengah Laba

Jumlah kasus positif Covid-19 di Bali mencapai 7628 kasus dengan rincian 7601 WNI dan 27 WNA per Sabtu, 19 September 2020. Data ini diambil dari press release gugus tugas percepatan penanganan COVID-19 Provinsi Bali. Angka 7628 adalah angka yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan ketersediaan ruang rawat khusus pasien Covid-19 di rumah sakit yang ada di Bali. Angka ini disinyalemen melonjak naik dalam beberapa waktu terakhir akibat dipicu kasus transmisi lokal di lingkungan rumah tangga dan pelaksanaan upacara (detiknews,10/9).

Surat edaran, himbauan dan bentuk komunikasi sejenis lainnya merupakan medium atau pola mengkomunikasikan sesuatu dalam konteks komunikasi publik. Dalam ilmu komunikasi, komunikator (pengirim pesan) dan komunikan (penerima pesan) acapkali terhalang adanya gangguan (noise) yang dapat menyebabkan pesan tidak diterima secara utuh.

Di era Internet of Thing (IoT) dan masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang komunikasi, media sosial dapat menjadi salah satu penyebab noise dalam upaya pengendalian bencana publik Covid-19. Saat ini, berita atau wacana apapun perihal Covid-19 akan selalu menjadi sorotan publik. Banyaknya informasi terkait Covid-19 yang tersebar di ruang publik bisa jadi malah menimbulkan kebingungan masyarakat. Lalu, bagaimana seharusnya kondisi ideal komunikasi dipolakan?

McLuhan (1960) mencetuskan konsep global village dan dalam konsep ini dinyatakan bahwa komunikasi personal akan semakin mengarah ke komunikasi massa. Ketika informasi dikomunikasikan melalui internet, maka siapa saja dapat melihat dan mengetahuinya. Warga memiliki hubungan yang sifatnya simbiosis dengan teknologi yang menggunakan media. Inilah yang menjadi konsep dasar dari teori ekologi media. Maka, komunikasi publik di masa pandemi Covid-19 membutuhkan adanya transparansi dan kepercayaan publik. Pun, diperlukan adanya official counter terhadap informasi dan isu ‘liar’ yang menerpa dan menjejali masyarakat lewat media sosial agar kepercayaan khalayak bisa diperoleh oleh pemegang otoritas. Sebab, tujuan utama dari komunikasi publik adalah perubahan perilaku akibat pesan yang disampaikan, yakni pesan tentang bahaya Covid-19. Munculnya kepercayaan masyarakat dengan salah satu indikator kepatuhan menjalankan protokol kesehatan menjadi indikasi keberhasilan dari komunikasi publik itu sendiri.

Penyampaian pesan dalam komunikasi publik sangat rentan akan adanya noise (gangguan). Hal ini disebabkan karena komunikasi publik cenderung berbentuk komunikasi satu arah (one way communication). Menurut Rakhmat (1996) terdapat lima jenis gangguan dalam komunikasi publik di antaranya 1) gangguan mekanik, yakni gangguan yang disebabkan oleh adanya suara atau kebisingan lain di sekitar pengirim pesan; 2)  gangguan personal, yakni gangguan kondisi fisik komunikator (pengirim pesan) dan/atau komunikan (penerima pesan) yang sedang kelelahan, rasa lapar, atau sedang ngantuk, termasuk di dalamnya kondisi psikologis seperti tidak ada minat, bosan, dan tekanan psikologis lainnya; 3) gangguan semantik, yakni gangguan yang disebabkan oleh adanya perbedaan makna yang dipahami oleh komunikator sebagai sumber informasi dan komunikan sebagai penerima informasi. Hal ini biasanya terjadi karena pemilihan diksi, istilah-istilah, simbol-simbol, atau jargon yang bersifat multi tafsir yang bisa diplintir sehingga menjadi rumit di tengah masyarakat; 4) gangguan adanya  perbedaan budaya, yakni perbedaan budaya antara komunikator dengan komunikan dapat membuat pesan yang disampaikan tidak seimbang dan menjadi kurang efektif; dan 5) gangguan ketiadaan feedback, yakni tidak ada timbal balik (feedback) dari komunikan kepada komunikator dan hal ini dapat membuat komunikan merasa bosan dengan keadaan komunikasi yang ada di ruang publik.

Pro kontra terhadap cara masyarakat memahami Covid-19 tercermin dari hebohnya geliat komunikasi di media sosial. Hal ini disebabkan karena adanya informasi yang kurang komprehensif akibat gangguan komunikasi publik. Apalagi, lamanya masa pandemi Covid-19 ikut memperparah gangguan-gangguan yang terjadi dalam komunikasi publik. Sebagai contoh nyata, gangguan personal dan gangguan semantik yang menimpa komunikator dan komunikan seperti kelelahan, kondisi psikologis dan penggunaan diksi dapat mengakibatkan tensi dan emosi yang kalau tidak dipolakan dengan baik dapat bermuara di ruang sidang pengadilan. Dan, ini sebenarnya sangat tidak dikehendaki baik oleh komunikator maupun komunikan dalam konteks komunikasi publik.

Ketika ini sudah dan sedang terjadi di tengah masyarakat dan agar dapat dikurangi, theory of reasoned action dan theory of planned behavior yang digagas oleh Icek Ajzen layak untuk direnungkan. Teori ini secara mendasar merumuskan kombinasi antara sikap pribadi, norma yang dirasakan orang lain, dan motivasi untuk mematuhi segala prediktor perilaku. Teori ini didasarkan pada nilai harapan yang mendalilkan bahwa sikap ditimbulkan oleh keyakinan tentang perilaku yang dapat menyebabkan konsekuensi tertentu. Dalam konteks ini, sikap, keyakinan, perilaku dan konsekuensi logika-rasa terhadap bahaya Covid-19 perlu disinergikan bersama antara pemerintah selaku komunikator dan masyarakat selaku komunikan. Menyitir pendapat Yamani (2020), sinergi dimaksud dapat diupayakan dengan mengubah pola komunikasi verbal dan non-verbal di tiap jenjang. Misalnya, oknum pemerintah tidak menciptakan kerumunan walau untuk kepentingan foto ataupun acara seremonial. Para influencer dan buzzer program pemerintah di medsos tidak memberi contoh yang bertentangan dengan protokol kesehatan dan lebih memilih diksi yang tepat dan mudah dipahami oleh masyarakat. Ini penting dilakukan untuk mengurangi friksi dan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat.

Ketaatan dan kedisiplinan masyarakat akan semakin tinggi ketika pemerintah konsisten dalam laku teks dan gerak. Sebab, tindakan visual di tengah fakta masyarakat yang rendah literasi dan kurangnya pemahaman komunikasi akan cenderung meniru. Masyarakat patron-client sangat membutuhkan cermin atau contoh yang baik dalam penerapan protokol kesehatan dalam kegiatan keseharian.

Masyarakat dan pihak swasta juga perlu taat terhadap aturan dan tidak memanfaatkan celah lemahnya suatu aturan seperti persoalan klasik yang terjadi, yakni lemahnya pengawasan, endorsement dan adanya multi interpretasi terhadap aturan yang ada. Untuk itu, langkah-langkah serius, termasuk memperbaiki pola komunikasi dan menyadari adanya gangguan komunikasi publik penting untuk dipahami dan diamini baik oleh pemerintah maupun masyarakat demi intensif-masifnya pengendalian Covid-19. Salam sehat dan salam literasi publik.

Penulis, Peneliti di Pusat Kajian Publik

 

 

  • Dibaca: 16398 Pengunjung
  • |
  • 19 September 2020