Bali: Antara Pariwisata dan Tantangan Kedaulatan Lokal
ilustrasi Krisis Air - picture source: https://www.google.com/imgres?imgurl
Bali: Antara Pariwisata dan Tantangan Kedaulatan Lokal
oleh
Made Mardika Putra
Bali, pulau kecil dengan pesona budaya dan alam yang memikat, kini menghadapi tantangan besar di tengah euforia pariwisata yang mendominasi segala aspek kehidupan, termasuk tantangan carrying capacity akibat pola kepariwisataan yang bergeser ke arah hedonis nan eksploitatif. Salah satu isu mendasar yang sering diabaikan dalam pengelolaan pariwisata di Bali adalah keterbatasan daya dukung lingkungan (carrying capacity). Sebagai sebuah pulau kecil dengan luas yang terbatas, Bali menghadapi tekanan besar akibat lonjakan jumlah wisatawan dan pembangunan yang masif. Carrying capacity mencakup aspek lingkungan, sosial, dan infrastruktur, dan semua indikator ini menunjukkan bahwa Bali semakin mendekati atau bahkan melampaui batasnya.
Paradigma yang terus memosisikan pariwisata sebagai sektor unggulan telah mendorong eksploitasi ruang dan sumber daya Bali—sawah, gunung, sungai, dan laut—hingga titik yang mengkhawatirkan. Ironisnya, hasil dari eksploitasi ini belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat Bali dalam bentuk kesejahteraan.
Pembangunan fisik di Bali memang tampak megah: mall, jalan tol, gedung perkantoran, hingga bangunan banjar yang mewah dan mencolok mata. Namun, di sisi lain, kualitas sumber daya manusia (SDM) Bali justru terabaikan. Pola pendidikan yang cenderung pragmatis, seperti orientasi kejuruan demi mempercepat kerja baik di dalam maupun luar negeri, kerap mengesampingkan pengembangan potensi intelektual dan kreativitas lokal. Hasilnya, banyak generasi muda yang terjebak dalam rutinitas kerja tanpa peningkatan kapasitas yang signifikan.
Sebagai dampaknya, harkat dan martabat masyarakat Bali secara perlahan tergerus. Fenomena kekinian yang cenderung timpang terlihat nyata. Pun, mulai tampak orang asing semakin mendominasi ruang sosial, ekonomi, dan bahkan budaya. Situasi ini diperparah dengan munculnya berbagai kasus viral yang mencerminkan perlakuan kurang bermartabat dari tamu asing terhadap masyarakat lokal.
Beberapa kejadian yang menyita perhatian publik. Misalnya, pelanggaran kesopanan dan hukum lokal dengan adanya wisatawan asing yang berpose tidak sopan di tempat suci, atau bahkan melakukan kegiatan ilegal seperti bekerja tanpa izin. Hal ini tidak hanya melukai budaya dan tradisi Bali tetapi juga mengesampingkan aturan yang diterapkan untuk menjaga kearifan lokal. Terdapat juga info viral tentang wisatawan yang secara terang-terangan merendahkan masyarakat lokal, bahkan hingga tindakan kekerasan fisik. Tindakan ini menjadi gambaran nyata bagaimana masyarakat lokal sering dianggap inferior di tanahnya sendiri. Hal lain yang juga mememerlukan perhatian para pengambil kebijakan di Bali adalah sinyalemen beberapa tamu asing terlibat dalam kasus “menguasai” sektor ekonomi lokal, seperti menjalankan bisnis ilegal dengan menyalahgunakan visa turis. Hal ini merugikan pengusaha lokal dan memperburuk ketimpangan ekonomi.
Budaya Bali yang Terpinggirkan
Keindahan dan keunikan budaya Bali telah menjadi daya tarik utama pariwisata, tetapi ironisnya, budaya ini justru semakin terpinggirkan di tanahnya sendiri. Desa adat, sebagai benteng terakhir pelestarian budaya Bali, perlu mempertanyakan kembali perannya. Apakah mereka telah bertindak cukup efektif dalam menjaga martabat dan kedaulatan masyarakat lokal? Jangan sampai tajam ke dalam tetapi tumpul keluar, di mana aturan adat hanya dirasakan oleh masyarakat lokal tanpa memperhatikan dominasi luar, bahkan dominasi orang asing yang merugikan dan mengeksploitasi ruang-ruang sosio-ekonomi kita.
Dalam menghadapi situasi ini, masyarakat Bali perlu melakukan revolusi pemikiran dan adaptasi sosial dengan tetap menjaga akar budaya Bali. Kepercayaan berlebihan pada pariwisata sebagai satu-satunya pilar ekonomi harus diubah. Masyarakat harus mulai mengeksplorasi sektor-sektor lain, seperti agribisnis modern, teknologi, atau seni kreatif berbasis lokal yang memiliki daya saing tinggi. Mentalitas inferior yang menganggap orang luar superior perlu digantikan dengan kepercayaan diri akan potensi lokal.
Desa adat dan komunitas banjar dapat dan harus menjadi motor penggerak perubahan ini. Dengan memperkuat doktrin bahwa Bali tidak akan “mati” tanpa pariwisata hedonis nan eksploitatif, masyarakat dapat didorong untuk mengembangkan potensi lain yang lebih beragam.
Pariwisata Budaya yang Berakar
Salah satu solusi yang dapat menjadi landasan bagi Bali adalah penerapan pariwisata budaya yang lebih membumi dan konkret. Pemerintah daerah, pemangku kepentingan dan penggiat pariwisata perlu menyusun petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang jelas untuk memastikan nilai-nilai budaya Bali benar-benar terintegrasi dalam sektor pariwisata. Saat ini pariwisata Bali mengedepankan pariwisata budaya masih dan hanya jargon semata?
Dengan adanya juknis dan juklak pariwisata budaya yang terimplementasu secara konkrit, Bali akan menjadi lebih berdaulat dalam menjalankan kepariwisatannya. Juknis dan juklak ini misalnya terimplementasikan bahwa setiap restoran, hotel, atau fasilitas pariwisata wajib memiliki elemen budaya yang nyata, seperti payung Bali di pintu masuk atau penggunaan arsitektur tradisional. Selain itu, acara budaya lokal harus menjadi agenda wajib bagi wisatawan, bukan hanya sebagai hiburan sesaat tetapi sebagai pengalaman mendalam untuk memahami Bali.
Bali memiliki kekuatan besar yang terletak pada solidaritas masyarakatnya. Jika desa adat, banjar, dan individu-individu Bali bersatu untuk menjaga martabat dan kedaulatan pulau ini, maka Bali dapat bangkit dari situasi yang mengkhawatirkan ini. Bangkit bukan hanya untuk melindungi budaya dan tradisi, tetapi juga untuk menciptakan masa depan yang sejahtera bagi generasi mendatang.
Waktunya bagi Bali untuk berdiri tegak, meraih kedaulatan dan martabatnya, dengan menjadikan budaya sebagai landasan utama pembangunan yang berkelanjutan dan dapat dijadikan rujukan praktek pariwisata di bumi nusantara.
Penulis,
Made Mardika Putra
Peneliti di Pusat Kajian Pariwisata Nusantara, Denpasar Institute
Kolaborasi Kampus dan Industri: Praktisi Bagikan Ilmu Pengembangan Website dan Aplikasi ke Mahasiswa
TOEFL: Pengertian, Fungsi, dan Antusiasme Peserta Mengikuti Tes di Denpasar Institute
Bali: Antara Pariwisata dan Tantangan Kedaulatan Lokal
Konkiti Vol.2 : Kelanjutan Kompetisi Pelajar Tahunan
Apa itu Kerjasama Sertifikasi?
TOEFL: Pengertian, Fungsi, dan Antusiasme Peserta Mengikuti Tes di Denpasar Institute
Cara Melihat Aplikasi yang Baru Saja Dihapus di HP Android dan iPhone
Apa itu Program Ausbildung?
Apa itu Culture Exchange Program?
Denpasar Institute Gelar Seminar Inovasi Pendidikan dan Kewirausahaan 2024