Pengentasan Kemiskinan Ekstrem Masih Terkendala

  • Dibaca: 554 Pengunjung
  • |
  • 15 Juni 2023
  • |
  • Kontributor: Didin Khoirudin

Warga di Kampung Baru Dadap atau Kampung Cheng In, Kelurahan Dadap, Kecamatan Kosambi, Sabtu (22/10/2022). Kawasan ini masih berkutat dengan kumuh, rumah tidak layak huni, dan lainnya.

Penghapusan kemiskinan ekstrem di Indonesia ditargetkan tuntas pada tahun 2024. Namun, upaya mengatasi kemiskinan ekstrem masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama dalam hal peningkatan kualitas rumah. Program pengentasan ini membutuhkan dukungan pemerintah pusat dan daerah.

irektur Sistem dan Strategi Penyelenggaraan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Edward Abdurrahman mengemukakan, jumlah masyarakat miskin ekstrem yang harus dientaskan hingga 2024 mencapai 6,2 juta jiwa. Sementara itu, dukungan Kementerian PUPR untuk penanganan kemiskinan ekstrem melalui program infrastruktur berbasis masyarakat dan peningkatan kualitas rumah baru mampu menjangkau 100.000-150.000 jiwa per tahun.

”Program (infrastruktur berbasis masyarakat dan peningkatan kualitas rumah) ini baru dimulai tahun 2020. Bagaimana bisa mengatasi kemiskinan ekstrem?” ujar Edward dalam diskusi ”Rumah untuk Semua” yang diselenggarakan Habitat for Humanity Indonesia, Rabu (14/6/2023), di Jakarta.

Menurut Edward, pekerjaan terbesar penanganan kemiskinan ekstrem ialah masyarakat yang berpenghasilan di bawah Rp 3,5 juta per bulan. Bantuan yang digulirkan PUPR untuk mendukung peningkatan kualitas rumah baru sebatas menyentuh masyarakat berkategori penghasilan Rp 2,2 juta-Rp 3,4 juta per bulan (desil 3 dan 4). Adapun masyarakat berpendapatan di bawah Rp 2,2 juta (desil 1 dan 2) umumnya tidak memiliki kemampuan meningkatkan kualitas rumah.

”Upaya mengatasi kemiskinan ekstrem, termasuk permukiman kumuh, memerlukan kolaborasi pemerintah pusat dan daerah, serta pemangku kepentingan terkait. Solusi yang diperlukan antara lain rumah khusus dan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) murah,” katanya.

Direktur Eksekutif Humanitarian Forum Indonesia Surya Rahman Muhammad menambahkan, persoalan perumahan perlu dikelola oleh berbagai pihak. Namun, tanpa kebijakan pemerintah yang konkret dan jelas, pemangku kepentingan lain akan kesulitan dalam mendorong akses rumah layak huni Kerap terjadi, pemerintah pusat dan daerah belum sinkron dalam relokasi hunian bagi korban bencana alam.

Surya juga menyoroti minimnya kepastian lahan untuk penyediaan rumah layak huni. Saat ini, kepemilikan lahan oleh pemerintah daerah rata-rata kurang dari 20 persen sehingga memicu masalah ketika terjadi bencana yang mengharuskan relokasi. Dicontohkan, sewaktu bencana tsunami di Aceh serta gempa di Sumatera Barat dan Palu, hampir tidak ada lahan pemda yang bisa digunakan untuk relokasi. Akibatnya, lahan yang digunakan adalah hutan lindung.

Sementara itu, Direktur Nasional Habitat for Humanity Indonesia Susanto mengemukakan, program perumahan rakyat telah banyak digulirkan. Namun, fokusnya lebih banyak untuk masyarakat yang memenuhi syarat kepemilikan dan akses pinjaman ke bank (bankable). Sebaliknya, program perumahan dengan target masyarakat informal dan masyarakat dengan tingkat kemiskinan ekstrem masih minim. Apalagi, kelompok masyarakat dengan tingkat kemiskinan ekstrem cenderung tidak memiliki akses perbankan.

”Penanganan isu perumahan bukan hal mudah. Tetapi, perlu keberpihakan kebijakan publik terhadap masyarakat rentan (miskin),” ujar Susanto.

Hal senada disampaikan Direktur Perumahan dan Kawasan Permukiman Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Tri Dewi Virgiyanti. Menurut dia, ada banyak faktor yang memengaruhi permukiman kumuh dan lingkungan permukiman informal berkualitas buruk. Masyarakat dan pemerintah berkontribusi terhadap situasi tersebut.

”Sebagian (kesalahan) otoritas pemerintah yang abai, tetapi juga sangat sulit mengubah perilaku masyarakat untuk tidak tinggal di kawasan yang tidak semestinya ditinggali, serta lemahnya pengawasan,” kata Tri.

Perlu koordinasi

Terkait pembenahan, menurut Edward, penataan wilayah kumuh membutuhkan kerja sama lintas sektor karena melibatkan aspek sosial dan ekonomi. Dari pengalamannya, banyak warga yang sudah diberikan hunian yang layak di suatu tempat, tetapi kembali lagi ke wilayah kumuh tempat ia tinggal sebelumnya. Minimnya kesempatan kerja dan turunnya pendapatan menjadi alasan mereka kembali.

Pemerintah kini berupaya menjalankan program land banking dengan mencari tanah yang bisa dimanfaatkan untuk membangun hunian layak. Namun, program ini membutuhkan biaya besar. Bila pemerintah ingin mendapatkan lahan di tengah kota, biaya akan sangat tinggi. Akan tetapi, bila lahan yang didapatkan jauh dari perkotaan, akan ada penolakan dari warga yang akan direlokasi.

”Untuk itu, perlu ada kolaborasi, dari pemerintah pusat bisa membangun sarananya, sementara lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah daerah memberikan bantuan dari segi sosial dan ekonomi,” kata Edward.

Tri menambahkan, selain pembenahan, upaya preventif pun diperlukan untuk mengantisipasi kehadiran permukiman kumuh baru di masa mendatang. Beberapa kebijakan, seperti penegakan aturan tata ruang dan memastikan pembiayaan rumah yang terjangkau, menjadi hal penting.

”Setiap kegagalan menangani masalah ini terus membebani masyarakat miskin dan menurunkan potensi pembangunan manusia. Pemerintah daerah perlu menjadikan ini prioritas,” ujarnya.

sumber: https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/06/14/kemiskinan-ekstrem-masih-tinggi

  • Dibaca: 554 Pengunjung
  • |
  • 15 Juni 2023